Wednesday, June 29, 2011

Puisi Kitab Cinta

Ini adalah senaskhah kesedihan yang aku kirimkan melalui jiwaku yang dipenuhi dukacita kepada sebuah jiwa yang lain.
Sesungguhnya kau telah berhasil menghancurkan belengguku dan meraih kemerdekaan

Sudah bertahun aku mengikat tali cintaku tanpa makna
Sudah bertahun malamku berlalu menunggumu, Maha Pencipta di dalam persembunyianku yang ditemani keangkuhan dunia
Kau juga adalah penyembuh bagi semua yang salah pada diriku
Namun saat ini, Kau juga adalah penyakitku
Kau seperti mahkota yang dibuat untukku tetapi menghiasi insan lain

Kau adalah syurga, aku yakini itu namun aku tidak menemukan kunci untuk membuka gerbangnya
Kau ibarat seperti seorang pencuri yang sedang bergembira dengan apa yang dicurinya
Kau mencuri segala jiwa dan cinta yang ada
Jalan cinta sejati hanya dapat ditempuhi oleh mereka yang siap untuk melupakan diri mereka
Demi cinta, kesetiaan harus dibayar dengan darah dari jantung kita, dari ketenangan jiwa kita
Jikalau tidak, cinta kita tidak bererti apa-apa maka biarkanlah cinta kita menjadi pelindung rahsia-rahsia kita
Biarkan kesengsaraan yang dibawa oleh cinta membelah jiwa

Marilah kita berjalan menuju kepadaNya, mengadap dan bersujud
Memalingkan wajah kepadaNya, memberikan segala jiwa kepadaNya dengan membawa cinta sejati yang tidak akan pernah mati kerana cinta buatNya akan kekal abadi



Tak tertampung perasaan ini jika puisi seindah ini dikirim oleh orang yang diharapkan cintanya. Terlalu indah hingga bisa buat mata saya bergenang dan hati berombak kuat. Surutnya tidak tahu bila.

Ada satu perasaan yang tak boleh saya jelaskan bagaimana saya sangat terhubung dengan bicara Bahasa Indonesia, ada sesuatu yang menjadikan saya pegun tatkala mendengar ia dituturkan. Mungkin juga kerna usul saya di sana, mungkin itu menyumbang. Mungkin juga kerna ia kedengaran sangat klasik, sangat halus, sangat berirama, sangat tersirat, menjadikan saya selalu ingin mendengarnya. Atau mungkin kerna memang sudah terbit minat terhadap bahasa klasik, di umur 9 tahun saya sudah membaca Hikayat Merong Mahawangsa tanpa dipaksa. Teater dan wayang gambar Puteri Gunung Ledang saya tidak jemu menonton berulang kali. 

Tiada yang salah kata Lisa, jika masyarakat Indonesia ingin kedengaran puitis, bahasanya lebih mirip ke Bahasa Melayu cuma diselitkan sedikit Bahasa Indonesianya. Lihat saja lirik-lirik lagu Indonesia, banyak condong ke Bahasa Melayu, itulah antara sebab kita mudah menerimanya. Bahasa dalam lirik itu berbeza daripada bahasa di bahan bacaan atau percakapan harian. Cuba diamati semula, kurang Bahasa Indonesianya di dalam lirik.       

Puisi di atas adalah daripada Kitab Cinta, gabungan cerita antara Malaysia dan Indonesia. Tidak pasti milik siapa nukilan ini tapi sungguh dalam maksudnya, sampai tepat ke dalam hati, jika difahami. Tergiang-ngiang di kepala memaksa saya kongsinya disini sama seperti lagu Ungu yang saya dengar di Jogja ketika dulu. Kini, lagu itu sudah sampai ke Malaysia dan saya masih suka mendengarnya. Malaysia dan Indonesia mempunyai banyak persamaan membuatkan saya ingin kembali ke sana lagi, terutamanya ke Tanah Jawa.


No comments: